HUKUM ADAT WARIS

HUKUM ADAT WARIS


I. PENDAHULUAN
Manusia di dalam perjalanannya di dunia mengalami 3 peristiwa yang penting : waktu dilahirkan, waktu ia kawin, waktu ia meninggal dunia.
Timbul pertanyaan, setelah orang meninggal dunia, apakah yang terjadi dengan segala sesuatunya yang ia tinggalkan. Tiap orang mempunyai hak dan kewajiban, sekonyong-konyong ia meninggal. Timbul pertanyaan : bagaimana tentang hak dan kewajiban itu? Ini tidak mungkin karena hak dan kewajiban tersusun tali-temali dengan hak dan kewajiban orang lain. Berhubung dengan itu, sangat diperlukan adanya peraturan yang menampung segala akibat meninggalnya seseorang.
Pada umumnya yang diatur soal-soal yang bersifat kebendaan saja, sehingga hal-hal yang khusus bersifat pribadi umpamanya keanggotaan suatu perkumpulan tidak termasuk warisan.
II. PEMBAHASAN
Hukum waris adalah suatu rangkaian ketentuan-ketentuan, di mana berhubung dengan meninggalnya seseorang, akibat-akibatnya di dalam bidang kebendaan diatur, yaitu : akibat dari beralihnya harta peninggalan dari seorang yang meninggal, kepada ahli waris, baik di dalam hubungannya antara mereka sendiri, maupun dengan pihak ketiga.
1. Sifat hukum adat waris
Apabila kita membandingkan hukum adat waris dengan misalnya hukum waris Eropa yang dimuat dalam Burgerlijk Wetboek, maka dengan segera akan tampak perbedaan sifat antara kedua hukum tersebut.
Hukum waris yang diatur dalam Burgerlijk Wetboek mengenai hak tiap-tiap waris atas bagian tertentu dari harta peninggalan. Segala harta peninggalan itu merupakan suatu kesatuan abstrak, yang dapat dinilai dengan sejumlah yang yang tertentu banyaknya dan yang tiap-tiap waktu dapat dibagi-bagi dalam pecahan berdasar ilmu berhitung menurut perhitungan pada waktu meninggalnya pewaris (erflater). Jika mungkin, pembagian harta peninggalan akan dilakukan dengan jalan membagi barang-barang. Akan tetapi jika pembagian demikian tidak dapat dijalankan, maka pembagiannya akan berlaku seperti membagi sejumlah uang, yang akan diterima, apabila barang-barang harta peninggalan itu dijual.
Hukum adat waris bersendi atas prinsip-prinsip yang timbul dari aliran-aliran pikiran komunal dan konkrit dari bangsa Indonesia.
Hukum adat waris memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-barang yang tidak terwujud benda (immateriele doegeren) dari suatu angkatan manusia (generatie) kepada turunannya. Proses itu telah mulai dalam waktu orang tua masih hidup. Proses tersebut tidak menjadi “akuut” oleh sebab orang tua meninggal dunia. Memang meninggalnya bapak/ibu adalah suatu peristiwa yang penting bagi proses itu. Akan tetapi sesungguhnya tidak mempengaruhi secara radikal proses penerusan dan pengoperan harta benda dan harta bukan benda tersebut. Proses itu berjalan terus, hingga angkatan (generatie) baru, yang dibentuk dengan mencar atau mentasnya anak-anak, yang merupakan keluarga-keluarga baru, mempunyai dasar kehidupan material sendiri dengan barang-barang dari harta peninggalan orang tuanya sebagai fondamen.
Perkara-perkara warisan yang timbul di dalam praktek, biasanya disebabkan oleh karena tidak ada anak. Kadang-kadang juga oleh karena adanya perselisihan antara anak dan ibu tiri, atau oleh karena ada anak-anak yang dilahirkan oleh beberapa orang istri.
2. Dasar persamaan hak
Menurut hukum adat tradisional di Jawa, maka pada dasarnya semua anak baik laki-laki maupun perempuan mempunyai hak sama atas harta peninggalan orang tuanya.
Hak sama (gaijk gerechtigd) yang mengandung hak untuk diperlakukan sama (genijk bejegend) oleh orang tuanya di dalam proses penerusan dan mengoperkan harta benda keluarga. Susunan keluarga menurut keturunan kedua belah pihak, baik pihak bapak maupun pihak ibu (ouder-rechtelijk) yang berlaku di golongan suku bangsa Sunda, Jawa dan Madura (sebagaimana pula digolongkan suku bangsa Dayak di Kalimantan dan digolongkan Toraja di Sulawesi) berakibat bahwa anak-anak mewarisi dari kedua orang tuanya (bapak dan ibu).
Semua anak dengan tidak memandang lelaki dan perempuan lahir lebih dahulu atau lahir kemudian, serta dengan tidak memandang agamanya, mempunyai hak sama atas harta peninggalan bapak dan ibunya.
Di sana-sini, misalnya beberapa desa di Jawa Tengah, terdapat kekecualian, yakni anak lelaki bisa mendapat dua kali bagiannya anak perempuan.
3. Harta benda keluarga tidak merupakan kesatuan
Harta benda keluarga tidak merupakan kesatuan. Di atas telah disebut adanya barang asal dari suami, barang asal dari istri, dan barang gono-gini. Bagi hukum waris perbedaan sifat barang-barang tersebut tidak mewarisi (irrevelant) jikalau suami istri itu mempunyai anak.
Antara barang-barang harta benda keluarga itu harus diadakan perbedaan pula menurut macamnya, misalnya :
Di Minangkabau mungkin barang-barang harta pusaka kaum (famili) masih di dalam harta benda keluarga. Si ibu dan anak-anaknya serta bapak hanya berhak untuk memakai barang harta pusaka itu (genggam bauntuik). Barang harta pusaka tidak boleh dibagi-bagi. Tanah kalakeran di Minahasa adalah tanah famili juga yang tidak boleh dibagi-bagi apabila di antara harta benda keluarga terdapat tanah kalakeran, maka keluarga juga hanya berhak memakai tanah itu dan tidak boleh membagi-baginya, selain daripada dengan persetujuan seluruh mereka (famili) yang berhak.
Barang pusaka yang keramat, seperti keris, tombak, dan sebagainya yang memberi bahagia kepada kaluarga, tidak boleh disamakan dengan barang-barang biasa, seperti perkakas rumah dan perkakas dapur.
Pendek kata, harta peninggalan tidak merupakan kesatuan, beberapa barang dan padanya dikuasai oleh peraturan-peraturan sendiri yang mengatur cara pengoperannya.
a. Sistem pewarisan
1) Sistem pewarisan di mana harta peninggalan dapat dibagi-bagi.
2) Sistem pewarisan di mana harta peninggalan tidak dapat dibagi-bagi.
a) Kolektif
Harta peninggalan sebagai keseluruhan dan tidak terbagi-bagi dimiliki bersama-sama oleh ahli waris.
b) Mayorat
Sistem pewarisan di mana harta peninggalan secara keseluruhan dan tidak terbagi-bagi jatuh ke tangan anak yang tertua, sistem mayorat ada dua :
(1) Mayorat laki-laki, yaitu harta peninggalan jatuh ke tangan anak laki-laki (Lampung-Bali).
(2) Mayorat perempuan, yaitu harta peninggalan jatuh ke tangan anak perempuan ke anak perempuan yang tertua (masyarakat Semendo, Dayak Tayan, Dayak Sandak).
b. Ahli waris
Pada umumnya yang menjadi ahli waris ialah para warga yang paling karib di dalam generasi berikutnya, ialah anak-anak yang dibesarkan di dalam keluarga/brayat di pewaris. Yang pertama-tama mewaris ialah anak-anak kandung. Namun pertalian dan solidaritas keluarga itu di sementara lingkungan hukum diterobos oleh ikatan dan pertautan kelompok kerabat yang tersusun unilineal. Pada kerabat-kerabat yang merupakan bagian clan (patrilinieal ataupun matrilineal), maka dalam hal ini terasalah adanya ketegangan antara tuntutan hak dari kesatuan keluarga dengan tuntutan hak dari kerabat tersebut.
Adanya hak mewaris anak-anak dari kedua orang tuanya merupakan ciri dari susunan sanak parental, baik yang berdasarkan susunan suku bersegi dua (Dayak dan Toraja) maupun yang merupakan akibat terpecahnya susunan sanak menjadi ikatan-ikatan keluarga, seperti di Jawa.
III. Kesimpulan
Mewarisi adalah mengoperkan harta keluarga kepada turunan, yaitu terutama kepada lelaki dan anak-anak perempuan, jika mungkin, pembagian harta peninggalan akan dilakukan dengan jalan membagi barang-barang. Akan tetapi jika pembagian demikian tidak dapat dijalankan maka pembagiannya akan berlaku seperti membagi sejumlah uang, yang akan diterima, apabila barang-barang harta peninggalan itu dijual.


Referensi
Imam Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Asas, Liberty, Yogyakarta, 1981.
Prof. Ali Afandi, S.H., Hukum Waris Hukum Keluarga Hukum Pembuktian Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW), Bina Aksara, Jakarta, 1986.
Prof. DR. R. Soepomo, S.H., Bab-Bab Tentang Hukum Adat, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 1977.


0 comments to "HUKUM ADAT WARIS"

Post a Comment

English German Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified icon/gambar
Web hosting for webmasters