WARIS DALAM SEJARAH

WARIS DALAM SEJARAH
PENDAHULUAN

Proses perjalanan kehidupan manusia adalah lahir, hidup dan mati. Semua tahap itu akan membawa pengaruh dan akibat hukum kepada lingkungannya, terutama dengan orang yang dekat dengannya, baik dekat dalam arti nasab maupun dalam arti lingkungan. Misalnya orang yang meninggal dunia pastinya dia meninggalkan harta warisannya kepada para ahlinya. Setiap ahli waris juga akan mendapatkan warisan tersebut sesuai dengan ketentuan yang sudah ditentukan. Di dalam hukum waris, orang yang dapat menjadi ahli waris terdiri dari laki-laki dan perempuan. Namun dalam hukum waris Islam tidak dibolehkan seseorang mewarisi terhadap warisan dari orang-orang yang berlainan agama. Dalam hadits Rasulullah dijelaskan:
Artinya: “Dari Usamah bin Zaid r.a. dari Nabi Muhammad SAW beliau bersabda: “Tidak boleh orang Islam mewarisi orang kafir, dan tidak pula orang kafir mewarisi orang Islam”. (H.R. Bukhari dan Muslim).


PEMBAHASAN

Pengertian
Warisan adalah harta peninggalan yaitu harta yang akan dibagikan kepada orang-orang yang ditinggalkan atau ahli waris. Atau dengan kata lain harta peninggalan ialah harta secara keseluruhannya yang terlihat ada hubungan pemilikannya dengan si mati, kemudian dikurangi dengan hutang keluarga, dipisah dan ditentukan harta suami (yang meninggal) dari harta istri dan terakhir harta suami ini dikurangi dengan hutang dan wasiat.

Dasar untuk Mewaris
Hak untuk mewarisi didasarkan atas berbagai hubungan antara si pewaris dengan si waris menurut perbedaan masa dan jalan pikiran serta tempat. Di sini akan kita temukan tiga macam perbedaan dan ketiganya itu di daerah Jazirah Arab sekitar Mekkah dan Madinah.
1. Sebab-sebab Mewaris di Zaman Arab sebelum Islam
a. Hubungan darah
Mewaris di sini berlaku hanya bagi laki-laki yang sanggup mengendarai kuda, memerangi musuh dan merebut rampasan perang dari musuh dan tidak berlaku bagi wanita serta anak kecil biarpun laki-laki karena mereka tidak sanggup berperang.
b. Hubungan sebagai anak angkat
Seorang anak orang lain yang diangkat oleh seseorang menjadi anak angkat, mendapat hak sebagai anak dalam hal mewaris dan lainnya.
c. Hubungan berdasarkan sumpah dan janji
Apabila dua orang bersumpah dan berjanji satu sama lain untuk menjadi saudara dan saling mewaris jadilah mereka saling mewaris.

2. Sesudah Datangnya Islam
Pada permulaan perkembangan Islam tetap berlaku ketentuan-ketentuan menurut hukum adat Arab yang telah berlaku sebelumnya. Kemudian sesudah hijrah ke Madinah berangsur-angsur diterapkan ketentuan-ketentuan baru. Ketentuan-ketentuan berikut kemudian berangsur-angsur ditetapkan sebagai dasar untuk mewaris.
a. Hubungan darah
Dalam hubungan darah ini tidak terbatas pada laki-laki yang sanggup berperang saja, tetapi berlaku bagi semua yang mempunyai hubungan darah, sebagai alasan dapat dilihat pada Q. IV : 7A dan b dan Q. IV : 11, 12, 33, 176.
b. Tidak diperlakukan lagi hubungan sebagai anak angkat untuk menjadi sebab mewaris, hal itu ditegaskan dengan Q.XXXIII : 4c yang berbunyi “Tuhan tidak menjadikan anak angkat kamu itu menjadi anak kamu. Yang dimaksudkan di sini secara umum ialah Allah memberikan pernyataan bahwa anak angkat oleh seseorang sebagai anak angkat menurut hukum adat Arab yang berlaku ketika itu tidaklah berlaku lagi”.
c. Hubungan janji untuk mewaris
Janji untuk mewaris tetap dipertahankan dalam permulaan Islam. Hal itu didasarkan pada Q.IV : 33 c dan yang berbunyi:
......... bagi setiap orang Allah telah menjadikan mawali atas harta peninggalan orang yang mengadakan perjanjian dengan kamu, maka berikanlah bagian warisannya itu kepada mereka, dari garis hukum ini ditarik ketentuan bahwa perjanjian menimbulkan hubungan saling mewaris. Kemudian mawaris berdasar atas perjanjian ini oleh sebagian sarjana Islam, tidak diperlakukan lagi. Kata-kata perjanjian di sini diartikan mereka sebagai hubungan perkawinan. Hubungan warisan berdasar janji ini diberi istilah oleh hazairin dengan perjanjian pertolanan.
Ini lebih condong agar pembagian harta warisan yang berdasar pada janji diberikan penyelesaian berdasar atas wasiat. Penyelesaian yang sedemikian itu dapat memberikan dasar hukumnya, cara penyelesaian ini diatur dengan ketentuan yang terdapat pada Q. IV : 119 dan hadits Rasul yang mengenai Sa’ad Ibn Abi Waqas mengenai batas 1/3 untuk wasiat.

d. Hijrah
Orang yang sesama hijrah dalam permulaan pengembangan Islam itu saling mewaris sekalipun tidak mempunyai hubungan darah. Sedangkan dengan kaum kerabatnya yang tidak sesama hijrah bersama dia tidak saling mewaris. Hubungan mewaris karena hijrah ini kemudian dihapus dimansukhkan dengan Q.XXXIII : 6 Q. VIII : 75 yang berbunyi: Orang yang sepertalian darah itu setengahnya lebih dekat kepada setengahnya.
e. Hubungan persaudaraan
Rasul mempersaudarakan orang-orang tertentu sesamanya karena keperluan yang ada pada suatu waktu. Dan tindakan Rasul itu. Misalnya menjadi sebab mereka yang dipersaudarakan itu saling mewaris. Kedudukan mewaris karena dipersaudarakan Rasul ini juga kemudian dihapus dimansukhkan dengan Q. XXXIII : 6 dan Q. VIII : 75 dan sebagainya.
3. Akhirnya sesudah lengkap turunnya ayat-ayat kewarisan serta petunjuk-petunjuk dari hadits Rasul yang berlaku menjadi penyebab pewarisan dalam Islam adalah dengan sebab-sebab:
a. Hubungan darah
b. Hubungan semenda atau pernikahan
c. Hubungan memerdekakan budak
d. Hubungan wasiat untuk tolan seperjanjian termasuk anak angkat

Rukun Waris
1) Ada waris (ahli waris)
2) Ada yang diwarisi
3) Ada hak yang diwarisi

Syarat Waris
1) Nyata hidup orang yang mewarisi
2) Nyata mati orang yang diwarisi
3) Mengetahui hubungan segala ahli waris

Sebab-sebab dapat menjadi ahli waris:
1) Nikah (kawin)
2) Keturunan
3) Wila’ artinya kemerdekaan yang diberikan kepada budak yang telah dibeli atau dirampas.
Apabila ketiga sebab ini tidak ada, harta jenazah harus diberikan ke baitul mal (balai harta peninggalan)

Peninggalan Jenazah
Hal yang bersangkutan dengan peninggalan jenazah terdiri atas 5 perkara:
1) Hak yang bersangkutan dengan barang yang ditinggalkan, seperti zakat yang belum dikeluarkan, jinayat andaikata ia membunuh orang Islam, barang-barang yang digadaikan kepadanya dan lain-lain.
2) Biaya penguburannya menurut yang pantas dan sederhana.
3) Utang piutang yang ada dalam pengakuannya
4) Wasiatnya, kalau ia meninggalkan wasiat, sebanyak-banyaknya sepertiga harta atau kurang
5) Harta yang akan dibagi-bagikan untuk ahli warisnya sebelum hirkahnya itu dibagikan kepada ahli warisnya, wajiblah lebih dahulu diselesaikan hak yang bersangkutan dengan tirkah itu, mulai dari yang pertama sampai yang keempat, dan sisanya dibagi oleh ahli warisnya.

Hal Yang Menghalangi Ahli Waris
Yang menghalangi menjadi ahli waris ialah:
1) Membunuh orang yang membunuh tidak dapat mewarisi orang yang dibunuhnya walaupun bapaknya. Adalah hadits Rasulullah SAW dinyatakan:
عن أبي هريرة رضي الله عنه عن أنبي b قال: القاتل لا يرث (رواه أبو داود والترمذي)
Artinya: “Dari Abu Hurairah r.a. dari Nabi Muhammad SAW beliau bersabda “Orang yang membunuh tidak dapat mewarisi” (H.R. Abu Daud dan Tirmidzi)


2) Berlainan agama, Islam dan bukan Islam
Dalam hadits Rasulullah SAW disebutkan:
عن أسامة بن زيد رضي الله عنه النبي b قال: لا يرث المسلم الكافر ولا يرث الكافر المسلم (رواه البخاري ومسلم)
Artinya: “Dari Usamah bin Zaid r.a. dari Nabi Muhammad SAW beliau bersabda “Tidak boleh orang Islam mewarisi orang kafir, dan tidak pula orang kafir mewarisi orang Islam”. (H.R. Bukhari dan Muslim)

Dalam hadits lain disebutkan:
عن عبد الله بن عمرو رضي الله عنهما عن النبي b قال: لا يتوارث أهل ملتين شتى (رواه أبو داود والترمذي)
Artinya: “Dari Abdullah bin Umar r.a. dari Nabi Muhammad SAW beliau bersabda “Tidak dapat waris mewarisi orang-orang yang berlainan agama”. (H.R. Abu Daud dan Tirmidzi).

3) Budak, sebab budak itu belum ada hubungannya dengan tuannya sebelum dimerdekakan. Selama ia masih budak, selama itu pula ia belum ,dapat berkuasa atas harta bendanya, Allah SWT berfirman:
    •    
Artinya: “Allah telah membuat perumpamaan dengan seorang hamba sahaya yang dimiliki yang tidak dapat bertindak terhadap sesuatu pun.” (Q.S. An-Nahl : 75).

Ahli Waris Dari Pihak Laki-Laki Dan Pihak Perempuan
Orang-orang yang dapat menjadi ahli waris terdiri atas 25 orang, yaitu 15 laki-laki dan 10 perempuan.
Orang-orang dari pihak laki-laki
1. Anak laki-laki
2. Cucu laki-laki
3. Bapak
4. Kakek
5. Saudara sekandung
6. Saudara laki-laki seibu
7. Saudara laki-laki sebapak
8. Anak laki-laki dari saudara laki-laki seibu sebapak
9. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak
10. Paman seibu sebapak dengan bapak
11. Paman sebapak dengan bapak
12. Anak laki-laki dari paman sebapak dengan bapak
13. Anak laki-laki dari paman seibu sebapak
14. Suami
15. Orang yang memerdekakan budak (bekas penghulunya)
Ahli waris dari perempuan
1. Anak perempuan 2. anak perempuan dari anak laki-laki 3. ibu 4. nenek dari pihak ibu 5. nenek dari bapak 6. saudara perempuan sekandung 7. saudara perempuan sebapak 8. saudara perempuan seibu 9. istri 10. perempuan yang memerdekakan budak.
- Ada semua ahli waris
Apabila semua ahli waris dari laki-laki ada semuanya, maka yang bisa menerima waris hanya 3 orang.
1. bapak 2. anak 3. suami
Yang selebihnya menurut ijma ulama terhijab oleh ketiga orang ini.
- Kalau ahli waris perempuan ada semua maka yang dapat menerima waris hanya 5 orang
1. ibu 2. anak perempuan 3. anak perempuan dari anak laki-laki 4. saudara perempuan sekandung 5. istri
- Apabila semua ahli waris baik laki-laki atau perempuan ada maka yang dapat mewaris hanya 5 orang
1. bapak 2. ibu 3. anak laki-laki 4. anak perempuan 5. suami atau istri

Golongan Ahli Waris
Ahli waris terbagi pada 3 golongan:
1. Golongan dzawil furud, mereka mengambil harta pusaka menurut bagian yang ditentukan di dalam Al-Qur’an.
2. Golongan mu’asib, mereka mengambil harta pusaka dari sisa warisan (mengambil habis) setelah golongan dzawil furud mengambil bagiannya.
3. Golongan dzawil furud dan mu’asib, mereka mengambil harta pusaka kadang-kadang menurut aturan dzawil furud, dan kadang-kadang mendapatkan sisa warisan (menghabisi yang tertinggal)

Macam-macam Furud
Kadar yang ditentukan Allah dalam Al-Qur’an adalah:
1 ½, 2 ¼, 3 1/8, 4 1/3, 5 2/3, 6 1/6.
A. ½ (seperdua), ahli waris yang mendapat ½:
1. Suami, dengan syarat si pewaris tidak meninggalkan anak atau anak laki-laki dari anak laki-laki (cucu) hal ini karena cucu sama dengan anak kandung menurut ijma’ ulama
2. Anak perempuan, bila ia hanya sendiri saja
3. Anak perempuan dari anak laki-laki (cucu) dengan syarat
a. Bila seorang diri
b. Tidak ada anak perempuan kandung
c. Tidak ada anak laki-laki
d. Tidak ada pula anak laki-laki dari anak laki-laki (cucu)
4. Saudara perempuan sekandung, dengan syarat:
a. Bila ia seorang diri
b. Tidak ada anak perempuan kandung
c. Tidak ada anak perempuan dari anak laki-laki
d. Tidak ada anak laki-laki
e. Tidak ada anak laki-laki dari anak laki-laki
f. Tidak ada bapak
g. Tidak ada bapak dari bapak
h. Tidak ada saudara laki-laki kandung

5. Saudara perempuan sebapak dengan syarat:
a. Bila ia seorang diri
b. Tidak ada saudara perempuan sekandung
c. Tidak ada saudara laki-laki kandung
d. Tidak ada anak laki-laki
e. Tidak ada anak laki-laki dari anak laki-laki
f. Tidak ada bapak
g. Tidak ada kakek
h. Tidak ada anak perempuan
i. Tidak ada anak perempuan dari anak laki-laki
j. Tidak ada saudara laki-laki sebapak
B. ¼ (seperempat)
1. Suami apabila pewaris meninggalkan anak.
2. Istri, apabila pewaris tidak meninggalkan anak
C. 1/8 (seperdelapan)
Seperdelapan ini adalah bagian istri kalau suami meninggalkan anak
D. 2/3 (dua pertiga)
1. Anak perempuan kandung, dengan syarat
a. Bila lebih dari seorang
b. Tidak ada saudara laki-laki
2. Anak perempuan dari anak laki-laki, dengan syarat
a. Kalau lebih dari seorang
b. Tidak ada anak kandung dari si pewaris, baik laki-laki maupun perempuan
c. Tidak ada saudara laki-laki
3. Saudara perempuan kandung, dengan syarat
a. Bila lebih dari seorang
b. Tidak ada anak dari si pewaris
c. Tidak ada bapak
d. Tidak ada datuk
e. Tidak ada saudara laki-laki tidak ada anak dari anak laki-laki, laki-laki atau perempuan
4. Saudara perempuan sebapak, dengan syarat:
a. Bila lebih dari seorang
b. Tidak ada bapak
c. Tidak ada datuk
d. Tidak ada saudara kandung si pewaris
E. 1/3 (sepertiga)
1. Ibu, dengan syarat:
a. Kalau si pewaris tidak meninggalkan anak atau cucu.
b. Tidak pula meninggalkan saudara yang berbilang, baik laki-laki atau perempuan, baik seibu sebapak ataupun sebapak saja atau seibu saja
2. Dua orang saudara seibu atau lebih baik laki-laki maupun perempuan, dengan syarat:
a. Tidak ada anak yang mewarisi dari si pewaris
b. Tidak ada bapak atau datuk
F. 1/6 (seperenam)
1. Bapak, dengan syarat si pewaris memiliki anak
2. Ibu, dengan syarat:
a. Si pewaris mempunyai anak
b. Atau beberapa saudara baik laki-laki maupun perempuan (dua atau lebih) baik sekandung, sebapak saja atau seibu saja.
3. Seorang saudara perempuan sebapak
a. Ia beserta seorang saudara perempuan kandung untuk menyempurnakan bagian 2/3
b. Tidak ada saudara laki-laki
4. Seorang saudara seibu, laki-laki maupun perempuan
a. Tidak ada bapak
b. Tidak ada datuk
c. Tidak ada anak kandung dari si pewaris, laki-laki atau perempuan
d. Tidak ada cucu, laki-laki atau perempuan
5. Kakek, yaitu bapak dari bapak
a. Tidak ada bapak
b. Ada anak
6. Nenek, ibu dari ibu atau dari bapak
Tidak ada bapak, kalau nenek itu ibu dari bapak, dan tidak ada ibu tidak ada bapak, kalau nenek itu ibu dari ibu, sebab masing-masing itu menghalangi nenek.
7. Seorang anak perempuan dari anak laki-laki
a. Kalau ia beserta seorang anak perempuan si pewaris, untuk menyempurnakan 2/3 karena keduanya dianggap dua orang anak perempuan.
b. Tidak ada saudaranya laki-laki.


KESIMPULAN

Pada dasarnya warisan adalah harta peninggalan yaitu harta yang akan dibagikan kepada orang yang ditinggalkan atau ahli waris atau boleh dikatakan langkah penerusan dan pergeseran harta peninggalan dari seorang pewaris kepada ahli warisnya. Maksudnya dari pewaris kepada ahli warisnya. Dasar hak untuk mewarisi didasarkan atas berbagai hubungan antara si pewaris dengan si waris baik itu hubungan darah maupun adanya hubungan yang lainnya.


DAFTAR PUSTAKA

Drs. H. Ibnu Mas’ud, Drs. H. Zainal Abidin S., Fiqih Madzhab Syafi’i, Bandung, Pustaka Setia, 2007.
H. Moch Anwar, Fiqih Islam, Bandung, Al-Ma’arif, 1973.
Sujati Thalib, S.H., Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika, 1993.


0 comments to "WARIS DALAM SEJARAH"

Post a Comment

English German Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified icon/gambar
Web hosting for webmasters