HUKUM WARIS

HUKUM WARIS
I. Pendahuluan
Hukum waris dapat dipaparkan sebagai seluruh aturan yang menyangkut penggantian kedudukan harta kekayaan yang mencakup himpunan aktiva dan pasiva orang yang meninggal dunia. Ketertiban hukum yang berkaitan dengan kepentingan publik mengharuskan pergantian kedudukan subyek hukum yang berhenti sebagai pendukung hak dan kewajiban hukum. Para pihak yang mengambil alih semua hak dan kewajiban dinamakan ahli waris. Dalam makna, hukum harta kekayaan para ahli waris pada hakikatnya melanjutkan pribadi pewaris sebagai individu. Dengan perkataan lain, para ahli waris mengisi kekosongan yang terjadi karena kematian, satu dan lain dalam konteks subjek-subjek hukum.
Perolehan para ahli waris dalam kaitan ini terjadi berdasarkan titel hukum, atas kekuatan hukum waris. Selain para ahli waris masih pula ada pihak-pihak lain yang dapat memperoleh sesuatu atas kekuatan hukum waris (pihak tertentu yang berdasarkan wasiat pewaris, diberi hak atas suatu benda tertentu, disebut penerima hibah waris / legataris). Dengan demikian sang legataris memiliki hak tagih terhadap para ahli waris. Perolehan legataris tersebut berlangsung atas kekuatan hukum waris.
Hukum kewarisan Islam pada dasarnya berlaku untuk umat Islam di mana saja di dunia ini. Sungguh pun demikian, corak suatu negara Islam dan kehidupan masyarakat di negara / daerah tersebut memberi pengaruh atas hukum kewarisan di daerah itu. Pengaruh itu adalah pengaruh terbatas yang tidak dapat melampui garis pokok dari ketentuan hukum kewarisan Islam tersebut. Namun pengaruh tadi dapat terjadi pada bagian-bagian yang berasal dari ijtihad / pendapat ahli-ahli hukum Islam sendiri.
II. Sumber Hukum Waris
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa kebiasaan hukum jahiliyah tidak memberikan harta waris kepada anak perempuan dan laki-laki yang belum dewasa. Ketika seorang Ansor bernama Aus bin Tsabit meninggal dan meninggalkan 2 putri serta satu anak laki-laki yang masih kecil, datanglah dua orang anak pamannya yaitu Khalid dan ‘Arfathah yang menjadi ‘ashobah. Mereka mengambil semua harta peninggalannya, maka datanglah istri Aus bin Tsabit kepada Rasulullah Saw. untuk menerangkan kejadian itu. Rasulullah Saw. bersabda: “Saya tidak tahu apa yang harus saya katakan”. Maka turunlah ayat (S. 5: 7) sebagai penjelas bagaimana hukum waris dalam Islam. Adapun ayat-ayat Al-Qur'an yang menerangkan tentang waris di antaranya terdapat di surat An-Nisa’ ayat 7, 8, 9, 10, 12, 33, 176.
Sejarah tentang waris telah lama dikenal manusia, secara turun temurun manusia telah menurunkan harta miliknya kepada keturunannya. Raja-raja zaman dahulu tidak hanya mewariskan harta saja tetapi juga kerajaannya. Sebelum turunnya agama Islam, orang-orang Arab jahiliyah telah mengenal adanya hak untuk pusaka mempusakai yang dalam pembagiannya mereka berpegang teguh pada tradisi. Dalam suatu hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas disebutkan : Apabila seorang laki-laki meninggal dunia dan ia meninggalkan seorang istri, maka familinya melemparkan pakaiannya di depan perempuan tersebut, lalu ia melarangnya untuk kawin dengan orang lain. Jika perempuan itu cantik langsung dikawininya dan jika perempuan itu jelek ditahannya sampai meninggal dunia, kemudian dipusakainya harta peninggalan perempuan itu.
III. Pengertian dan Hukum Waris
Menurut pasal 830 kitab undang-undang hukum perdata (KUHP) ada sebagian ahli di bidang (hukum waris) telah merumuskan hukum waris sebagai berikut :
Prof. Ali Afandi, SH., mengutip definisi dari Mr. A. Petlo, “Hukum waris adalah serangkaian ketentuan-ketentuan di mana, berhubung dengan meninggalnya seseorang, akibat-akibatnya di dalam bidang kebendaan, diatur, yaitu: akibat dari beralihnya harta peninggalan dari seorang yang meninggal kepada ahli waris baik di dalam hubungannya antara mereka sendiri maupun dengan pihak ketiga”.
Ilmu waris (faroidh) sebagai jamak dari lafal ( ) semakna dengan lafadz ( ), yakni bagian yang telah dipastikan / ditentukan kadarnya. Adapun ilmu waris (faroidh) menurut istlah ialah ilmu yang mempelajari tentang siapa yang mendapatkan warisan dan siapa yang tidak mendapatkannya, kadar yang diterima oleh tiap-tiap ahli waris dan cara pembagiannya.
Adapun mengenai hukum waris sendiri adalah wajib. Saling mewarisi di antara kaum muslimin hukumnya wajib dengan berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah. Di antara dalil-dalil tentang warisan adalah Al-Qur'an surat An-Nisa’: 7, 11.
Dan hadits Nabi menerangkan:

“Sesungguhnya Allah telah memberi hak kepada orang yang memiliki hak dan tidak ada wasiat untuk ahli waris” (Diriwayatkan Abu Daud).

Orang yang Terhalang dan Orang yang Menjadi Ahli Waris
Ada tiga hal yang menyebabkan seseorang menerima warisan, hubungan kekerabatan, perkawinan dengan akad yang sah, dan walak (perwalian).
Seorang ahli waris haruslah orang yang beragama Islam dan ahli waris dipandang beragama Islam apabila diketahui dari kartu identitas (pengakuannya maupun amalan dan kesaksian yang menyatakan bahwa ia adalah orang yang beragama Islam). Sedangkan anak yang baru lahir / belum dewasa, mengikuti agama yang dianut ayahnya / lingkungannya. Di antara ahli waris ada orang-orang yang terhalang menjadi ahli waris, artinya ia tidak berhak untuk memperoleh bagian dari warisan berdasarkan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena:
1. Dia dipersalahkan telah membunuh / mencoba membunuh / melakukan penganiayaan berat terhadap pewaris.
2. Dia dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa
pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman lima tahun penjara / hukuman yang lebih berat.
Dalam hukum perdata Islam orang-orang yang menjadi ahli waris dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu:
1. Kelompok ahli waris menurut hubungan darah, mereka ini terdiri dari:
a. Golongan laki-laki, yaitu:
1) Ayah,
2) Anak laki-laki,
3) Saudara laki-laki,
4) Paman dan
5) Kakek.
b. Golongan perempuan, yaitu:
1) Ibu,
2) Anak perempuan,
3) Saudara perempuan dan
4) Nenek.
2. Kelompok ahli waris menurut hubungan perkawinan, mereka ini adalah duda atau janda.
Jika semua ahli waris yang disebutkan di atas masih ada, maka yang berhak menerima warisan adalah anak, ayah, ibu, janda atau duda.
Ahli waris sebelum melakukan pembagian harta warisan, mempunyai kewajiban-kewajiban terhadap si pewaris. Kewajiban tersebut adalah :
1. Mengurus dan menyelesaikan sampai pemakaman jenazah selesai.
2. Menyelesaikan semua hutang-hutang si pewaris.
3. Menyelesaikan wasiat si pewaris.
4. Menentukan semua jumlah harta peninggalan pewaris.
IV. Bilamana Wasiat Dijatuhkan Pada Ahli Waris
Dalam pelaksanaan wasiat tersebut ulama fiqih juga mensyaratkan bahwa
orang yang menerima wasiat itu bukanlah salah seorang yang berhak menerima warisan dari orang yang berhak menerima warisan dari orang yang berwasiat, kecuali apabila ahli waris lainnya membolehkannya. Alasan yang dikemukakan para ahli fiqh adalah sabda Rasulullah Saw. dari Abu Umamah yang diriwayatkan Imam Ahmad bin Hambal, Imam At-Tirmidzi, Imam An-Nasa’i, Imam Ibnu Majah, Ibnu Hibban, yang Artinya: “Allah telah memberikan kepada setiap yang berhak (menerima warisan), maka tidak (sah/boleh) berwasiat kepada ahli waris”. Dalam hadits yang diriwayatkan Ad-Daruqutni dari Ibnu Abbas, Rasulullah Saw. bersabda, “Tidak boleh berwasiat kepada ahli waris, kecuali dibolehkan oleh ahli waris lainnya”.
Larangan berwasiat kepada ahli waris yang telah ditentukan pembagian warisannya, menurut para ahli fiqh agar tidak ada kesan bahwa wasiat itu menunjukkan perbedaan kasih sayang antara sesama ahli waris; yang pada akhirnya dapat menyulut perselisihan di antara ahli waris yang ditinggal orang yang wafat. Oleh sebab itu, untuk menghindari perselisihan keluarga ini, Rasulullah Saw. menyatakan bahwa seseorang tidak boleh berwasiat kepada ahli warisnya yang mendapat pembagian warisan hartanya, kecuali apabila diizinkan oleh ahli waris lainnya. Izin dari pihak ahli waris lainnya diperlukan, karena harta yang telah diwariskan orang yang wafat merupakan hak mereka bersama, yang harus dibagi sesuai dengan ketentuan syara’. Apabila mereka rela hak mereka dikurangi sesuai dengan jumlah wasiat al-musi, ulama fiqih mensyaratkan:
1. Izin dari ahli waris itu harus bersumber dari ahli waris yang telah cakap bertindak hukum, yaitu baligh dan berakal, serta mengetahui adanya wasiat tersebut. Oleh sebab itu, izin / kebolehan wasiat dari ahli waris yang belum / tidak cakap bertindak hukum, tidak sah.
2. Izin / kebolehan wasiat dari ahli itu diungkapkan setelah orang yang berwasiat meninggal dunia. Oleh sebab itu, izin / kebolehan dari ahli waris semasa hidup al-musi’ tidak sah karena ada kemungkinan bahwa izin mereka itu hanya bersifat semu, demi menjaga perasaan musi’. Karenanya, apabila izin terhadap wasiat itu diungkapkan ahli waris lain semasa al-musi’ hidup, kemudian setelah al-musi’ wafat, mereka membatalkan izin / kebolehan wasiat itu, maka wasiat itu batal.
Akan tetapi, ulama Syi’ah Zaidiah (Zaidiah, madzhab), imamiah, dan ismailiah berpendapat bahwa wasiat kepada salah seorang ahli waris hukumnya boleh, sekalipun para ahli warisnya tidak setuju. Alasan mereka adalah firman Allah Swt. dalam surat Al-Baqarah: 180.
Sebaliknya, ulama madzhab Az-Zahiri dan Abi Ibrahim Ismail bin Yahya Al-Muzaim (w. 264 H / 878 M, tokoh fiqh madzhab Syafi’i) berpendapat bahwa berwasiat kepada salah seorang ahli waris, sekalipun diizinkan oleh ahli waris lainnya, hukumnya tidak sah. Apabila setelah al-musi’ wafat, kemudian para ahli menyetujui wasiat al-musi’ pada salah seorang di antara mereka, maka hukum wasiat ini berubah menjadi hibah ahli waris kepada orang yang diberi wasiat, karena seluruh harta orang yang wafat telah berpindah milik kepada ahli warisnya. Dengan demikian para ahli waris memberikan sejumlah harta, sesuai dengan wasiat al-musi’, menurut mereka, statusnya adalah hibah, bukan wasiat lagi.
Untuk menghindari percekcokan antara ahli waris sering seseorang yang akan meninggal dunia memberikan semacam wasiat terhadap ahli waris agar nanti setelah ia meninggal dunia si A diberi rumah, si B diberi sawah dan lain-lain. Dalam hal ini hukum Islam membolehkan sepanjang bagian warisan tersebut sesuai dengan perbandingan bila diperhitungkan dengan faroidh. Namun ternyata ada kelebihan / kekurangan / pun mestinya tidak mendapatkan malahan menerima bagian / mestinya menerima bagian ternyata malahan tidak mendapatkan, maka hendaknya bagian tersebut disesuaikan sebagaimana mestinya dengan cara yang menerima lebih dengan sukarela mengembalikan kepada yang menerima kurang. Bisa bisa juga dianggap sebagai hibah / wasiat orang tua terhadap keluarganya sepanjang tidak bertentangan dengan aturan hibah / wasiat. Dalam hal ini diperlukan suatu kearifan bagaimana kita meletakkan aturan hibah, wasiat dan mawaris secara tepat.
Wasiat adalah pesan terakhir dari seseorang untuk memberikan sesuatu baik berupa harta maupun hak kepada orang lain di mana perpindahan hak tersebut dilaksanakan setelah ia meninggal.
Wasiat tersebut merupakan akad yang tidak mengikat, artinya sewaktu-waktu dapat ditarik kembali oleh pemberi wasiat. Contoh, wasiat berupa harta ialah apabila seseorang akan meninggal dunia sedangkan ia melihat bahwa di antara keluarganya ada orang-orang yang tidak akan mendapat bagian warisan / mendapatkan bagian tetapi tidak akan mencukupi kebutuhannya karena terlalu berat tanggungan keluarganya maka bolehlah ia memberikan wasiat kepada keluarga tersebut sepanjang tidak melebihi 1/3 hartanya.
Bahwa Saad bin Abi Abi Waqas pulang dari bepergian kemudian berkatalah ia kepada Rasulullah Saw.: “Wahai Rasulullah Saw., sakit saya telah terasa berat sebagaimana engkau lihat, sedangkan saya adalah orang yang mempunyai harta dan tidaklah mewarisi harta saya kecuali hanya seorang anak perempuan saja. Apakah saya bisa bershodaqoh dengan 2/3 harta saya?” Jawab Rasul, “Jangan”. Kemudian Sa’ad berkata lagi “separo?” jawab Rasul, “Jangan”. Kemudian Rasul bersabda: “1/3 dan 1/3 itu banyak. Engkau apabila meninggalkan ahli warismu sebagai orang kaya lebih baik daripada meninggalkan ahli warismu sebagai orang miskin yang meminta-minta kepada orang lain”. Wasiat ini diatur dalam Al-Qur'an surat Al-Baqarah: 180.


1 comments to "HUKUM WARIS"

  • Hari ini kaum Muslimin berada dalam situasi di mana aturan-aturan kafir sedang diterapkan. Maka realitas tanah-tanah Muslim saat ini adalah sebagaimana Rasulullah Saw. di Makkah sebelum Negara Islam didirikan di Madinah. Oleh karena itu, dalam rangka bekerja untuk pendirian Negara Islam, kelompok ini perlu mengikuti contoh yang terbangun di dalam Sirah. Dalam memeriksa periode Mekkah, hingga pendirian Negara Islam di Madinah, kita melihat bahwa RasulAllah Saw. melalui beberapa tahap spesifik dan jelas dan mengerjakan beberapa aksi spesifik dalam tahap-tahap itu

Post a Comment

English German Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified icon/gambar
Web hosting for webmasters