Solidaritas kita sebagai bangsa

Solidaritas kita sebagai bangsa

Adalah sebuah kenyataan yang tak terbantahkan, bahwa kita mendiami kawasan yang sangat kaya dengan sumber-sumber alam. Hutan yang dulunya menjadi paru-paru dunia, kini hancur porak-poranda akibat salah urus dan ketamakan yang luar biasa. Laut –dengan segenap kekayaan yang dikandungnya, yang diperkirakan mampu menghasilkan 30 milyard dollar AS per tahun melalui hasail perikanan yang di jual begitu saja, ternyata menjadi ajanag penyelundupan serta penjarahan yang telah merugikan negara. Bahan-bahan pertambangan yang di obral besar-besaran bagi kepentingan segelintir orang saja telah menjadi lahan subur bagi KKN dalam dan luar negeri.
Demikian juga hasil pengelolaan melalui pertanian dan kerajinan, hanya menguntungkan bagi segelintir pengusaha asing belaka. Para produsen dalam negeri kita, hanya menikmati sebagaian kecil saja dari hasil-hasil kegitan mereka. Tekanan pada kegitan ekspor hanya memberikan hasil kecil pihak eksportir sendiri, demi keuntungan lebih besar oleh para importir dari negara-negara maju. Mereka yang memperoleh bagian terbesar dari keuntungan kegiatan ekonomi kita.
Ketika penulis memasuki pasar swalayan di amerika serikat, didapati bahwa banyak aneka jenis jeans maupun kemeja justru buatan Indonesia, dengan tulisan jelas terpampang “made in indonesia”, dengan harga 20-30 dollar AS. Ketika penulis melakukan checking di Cihampelas, Bandung dan Tegalgubuk di Cirebon, ternyata pekerjanya hanya memperoleh 1 dollar untuk tiap potong, dan pengusahanya memperoleh 3 dollar AS. Ini berarti hanya 20-30 persen dinikmati pengusaha dalam negeri, dan selebihnya dinikmati oran lain.

*****

kenyataan ini menimbulkan tanda tanya besar dalam hati kita; mengapakah hal itu kita biarkan begitu saja? Megapakah kita biarkan bangsa kita tetap miskin dengan kekayaan alam demikian besar? Jawabnya sudah jelas, bahwa keuntungan tanpa banyak berusaha, alias monopoli, hanya dinikmati oleh segelintir orang saja di Indonesia. Kalau Mahbubul Haque menyatakan di bawah Ayub Khan, hanya 23 keluarga di Pakistan yang menikmati hasil pembangunan, di negeri kita --menurut catatan terakhir, ekonomi hanya dikuasai oleh 23 keluarga saja. Yang berati, ¾ jumlah uang beredar di kawasan Jakarta, yang berpenduduk tak ada seper sepuluh jumlah warga negara Indonesia. Ini dapat dibayangkan betapa kuatnya pemusatan pemilikan ekonomi di Ibu kota !
Tak heran jika lalu muncul OPM (Organisasi Papua Merdeka) di Irian Jaya, yang merasa muak dengan pengerukan kekayaan alam di kawasan tersebut melalui penambangan oleh pihak freeport dan perampokan alam oleh Jayanti Group. Sedangkan aparat pemerintahan hanya dipakai sebagai alat pelindung mereka. Mungkinkah kita melakukan negosiasi untuk menegakkan otonomi daerah tersebut, kalau keadaan semacam ini tetap dilanjutkan? Tidakkah semakin lama keadaan semakin parah, apalagi dengan kematian sangat mencurigakan Theys Aluay dan raibnya sang sopir? Bukankah aneh sekali, jika kita hanya menyalahkan tokoh tersebut tanpa melakukan perbaikan mendasar dalam perlakuan kita sebagai bangsa terhadap orang-orang papua?
Hal yang sama juga terjadi di Aceh, dengan pembunuhan besar-besaran melalui DOM (daerah operasi militer) Aceh? Bukankah ini menunjukkan kepada kita adanya keharusan untuk melakukan negosiasi dengan semua pihak di Aceh, dalam rangka mencari pola otonomisasi yang relevan bagi propinsi tersebut? Bukankah kesalahpahaman kaum sparatis di Aceh adalah akibat belaka bagi tersumbatnya arus komunikasi dengan orang-orang jjujur yang tidak berpendirian Asal Bapak Senang (ABS) bagi propinsi tersebut?

*****

jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas jelas mengacu kepada beberapa hal. Kalau hal-hal itu dapat kita penuhi, jadilah kita sebuah bangsa yang kuat dan berdaulat dalam arti sebenarnya. Kalau kita gagal, maka sebagai bangsa hanya akan menjadi korban pemerasan kekuatan dalam dan luar negeri semata. Apabila hal ini berlangsung cukup lama, maka gairah berbangsa satu dan negara yang berdaulat akan hilang begitu saja dan kita akan bercerai berai menjadi sekian bangsa yang berdiri sendiri. Ini, tentunya, jauuh dari impian para pendiri negeri kita dalam paruh pertama abad lalu. Tak ada hasilnya kita membuat sistem administrasi pemerintahan tunggal bagi semua propinsi di nedgeri ini, dengan bahasa nasional yanag dipakai semua orang dan memiliki pola pertumbuhan ekonomi saling bergantung (interdependensi) bagi semua kawasan.
Penyelesaiannya sangat sederhana dalam teori, tapi sulitt dipraktekkan. Yaitu, menegakka sistem ekonomi kkerakyatan dengan menampung segala macam perbedaan antar adaerah, yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Ini berarti memajukan secara ekonomi semua pihak di negeri kita dengan saling ketergantungan antar daerah sebagai kncinya. Di toppang dengan sistem trasportasi publik yang ekstensif, dikombinasikan dengan upaya menutup kebocoran serta menghilangkan pungutan-pungutan liar maka akan terjadi penammbahan sangat besar dalam penghasilan warga masyarakat kita, dan menaikkan kemampuan daya beli mereka yang seamakin besar. Perlonmbaan yang terjadi anntara kenaikan penghasilan/pendapatan di satu pihak dan piningkatan daya beli (purchasing power) mereka di pihak lain, akan membuat ekonomi kita semakin kuat, bukan semakin lemah seperti sekarang ini.
Sistem ekonomi seperti itu hanya dapat ditegakkan dan dijaga, apabila mengembangkan sistem politik yang benar-benar bertanggung jawab pada kepentingan rakyat banyak. Bukannya sistem politik ideal, yang hanya baik dalam retorika tetapi saling bertentangan bagian-baggiannya satu sama lain dalam kenyataan. Bilamana sistem politik semacam itu daopat diegakkan, maka sistem hukum, kepegawaian dan sistem-sistem lain yang kita perlukan dapat kita tegakkan. Bukankah pepatah menayatakan, perang sangat penting untuk kita putuskan bersama-sama dan bukan hanya menjadi urusan para jenderal belaka. Bukankah hampir semua bidang memerlukan penanganan para pemimpin kita secara sungguh-sungguh dan tidak hanya diputuskan oleh para ahli masing-masing belaka? Karena inilah kita memerlukan pemerintahan yang benar-benar demokratis dalam kenyataannya, meskipun pada awalnya terkadang harus dilakukan upaya-upaya otoriter?



Jakarta, 28 Desember 2001

artikel terkait:


0 comments to "Solidaritas kita sebagai bangsa"

Post a Comment

English German Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified icon/gambar
Web hosting for webmasters